• Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • RSS Feed

Wednesday, July 28, 2010

8 jam perjalanan dari titik awal pendakian yaitu kebun teh di daerah Wonosobo, kurang tahu tepatnya (desa/kecamatan). Berangkat jam 6 petang kami sampai di Puncak sekitar pukul 1 dini hari. Berbagai medan kami lewati, mulai dari kebun teh hijau yang berkabut, trabas hutan sedikit lebat, tanah gersang rerumputan, hingga tanjakan kejam berbatu yang dikelilingi pohon edellweis.

Puncak Sindoro dikala itu memang sangat dingin dan berangin kencang, bahkan dinginnya sudah terasa ketika di lereng. Jaket tebal, tenda rapat tak mampu mengahalau dingin waktu itu. Hingga tangan ini mati rasa, panas api juga tak terasa di tangan. Dalam benakku hanya ketakutan akan hypothermia bila keadaan ini berlanjut. Kami hanya berdoa agar pagi cepat menjelang dan mentari cepat bersinar, semoga dingin ini cepat usai. Malam yang singkat itu telingaku ini tak hentinya mendengar lidah rekanku yang terus-terusan mengucap nama Yang Maha Kuasa, semakin membuat hati ini miris.

Terang datang, kami keluar sejenak menikmati pagi namun ternyata dingin masih terasa. Mentari belum cukup naik untuk menghangatkan kami, sunrisepun kami lupakan. Dingin mereda perut kami lapar, mie instan, telur, ayam bakar jadi santapan.Santapan nikmat mengingat kami berada di ketinggian 2000 lebih diatas permukaan laut, tentunya tidak ada penjual nasi atau bakso. Perut terganjal, kami berputar melihat sekeliling menikmati dan memetik kuncup bunga edellweis meski hanya segenggam. Bunga abadi begitu orang menyebutnya, tidak mengherankan sebutan tersebut karena edellweis merupakan bunga kering seperti halnya pinus.

Dari puncak itu kami bisa menatap puncak-puncak gunung lain di sekitar, Sumbing, Perahu,Slamet, dsb. Subhanallah.......mungkin kami ada disini untuk melihat kebesaranMu....membuat kami terus berdecak kagum dan tak henti mengabadikannya dalam foto. Berbekal 2 megapixel, tapi kebesaran Yang Maha Kuasa menutupi kekurangan kamera kami.

Mulai dari perjalanan yang hebat membuat kami semakin akrab, keindahan kuncup edellweis yang konon abadi, putihnya awan di sekitar, kemegahan puncak-puncak gunung, membuat kami terus berfikir makna perjalanan ini. Seandainya dirimu ada bersamaku menatap kebesaranNya ini, kamu akan tahu untuk apa aku dipuncak itu dan dinginnya puncak Sindoro takkan sedingin hatiku TKF.....


Senin, 21 Juni 2010, di Blitar, Jawa Timur, berlangsung haul Bung Karno ke - 40.

Ketika Bung karno wafat, Presiden Soeharto waktu itu di depan para pemimimpin partai politik mengatakan, “Kita harus memberikan penghargaan atas jasa-jasa beliau sebagai pejuang yangluar biasa. Sejak dulu beliau adalah pejuang, perintis kemerdekaan. Sebagai proklamator, beliau tidak ada bandingannya.”

Berfikir mengenai Bung Karno, selalu saya bertolak dari ingatan bahwa manusia memang tidak ada yang sempurna. Jangankan manusia biasa, nabi pun bias khilaf, “ demikian kata Soeharto dalam buku otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH.

Pak Harto pada tahun 1980 mendirikan patung Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Proklamasi, Jakarta. Tahun 1985, Pak Harto menetapkan nama Bandar udara di Cengkareng dengan nama Soekarno-Hatta. Tahun 1986, Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Proklamator.

Minggu, 27 Januari 2008, Pak Harto wafat. Dalam upacara pemakaman Pak Harto di Astana Giri Bangun, Solo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak sebagai inspektur upacara. Dalam pidatonya, SBY menyebut Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan.

Kamis, 31 Desember 2009, mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur wafat. Dalam upacara pemakaman di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suara yang menyentuh hati para pendengarnya mengatakan, “Selamat jalan Bapak Pluralisme kita, semoga tenang di sisi Allah SWT.”

Suara SBY di antara ribuan orang yang melayat waktu itu sekali lagi, menyentuh hati. Suara itu diucapkan ketika angin berdesau. Suara SBY mengalun indah, tulus, dan diterima dengan ikhlas oleh alam semesta ini.

Sikap Soeharto dan SBY member penghormatan terakhir kepada para mantan Presiden atau pendahulunya membuat manusia merasakan apa yang ada dalam ungkapan bahasa Latin, Mors ianua vitae, bahwa kematian itu adalah pintu kehidupan. (J OSDAR/Kompas)



Kekumuhan kota dan penanganannya menjadi salah satu subtema yang dibahas dalam Konferensi Menteri – Menteri Perumahan dan Pengembangan Perkotaan se-Asia Pasifik (APM-CHUD) ke-3 yang diselenggarakan di Kota Solo, Jawa Tengah, 22-24 Juni 2010. Demikian dikatakan Ketua Tim Pelaksana APMCHUD yang juga Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa dalam konferensi pers di Solo, Senin (21/6) Data Perserikatan Bangsa – Bangsa menyebutkan, penduduk perkotaan dunia diproyeksikan meningkat dua kali lipat, dari 3,3 miliar pada 2007 menjadi 6,4 miliar pada tahun 2050. Pada 2020 diperkirakan populasi penduduk kawasan kumuh dunia 1,4 miliar dan satu dari dua warga kumuh itu terdapat di Asia. Pertemuan ini akan berbagi upaya dan kebijakan mengantisipasi kondisi ini.(EKI/Kompas)


 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff